Sabtu, 18 September 2021

Mengapa pada saat latihan upacara menggunakan bendera hijau kuning?

Informer Indonesia – Mungkin kamu pernah berpikir, bahwa mengapa pada saat latihan upacara kemerdekaan tidak menggunakan bendera merah putih, tetapi malah menggunakan bendera hijau kuning?๐Ÿค”

Bahkan dilansir dari TRIBUNJATENG.COM, ada sekelompok Paskibraka yang berlatih menggunakan bendera Biru-Putih di halaman Balaikota Semarang.

Jadi yang mana yang benar? Warna Hijau-Kuning atau Biru-Putih? Apakah wajibkah demikian?๐Ÿคจ Sebenarnya, tidak ada satupun peraturan negara yang mewajibkan demikian nih guys.๐Ÿค“

Didalam Undang-undang yang mengatur tentang Bendera Negara Indonesia, yaitu UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan pada pasal 24 A tentang larangan yang berbunyi, "Setiap orang dilarang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara;", tidak terdapat didalamnya peraturan yang mewajibkan menggunakan bendera berwarna Hijau-Kuning sebagai bendera latihan upacara.

Beberapa orang dan lembaga pemerintahan yang menggunakan bendera Hijau-Kuning ini sebagai bendera latihan hanya untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tak mengenakan, seperti salah satu contohnya yaitu bendera terobek saat latihan.

Namun, karena hal ini telah mendarah-daging didalam masyarakat, banyak yang beranggapan kalau latihan upacara wajib menggunakan bendera Hijau-Kuning.

Jadi, pada saat latihan upacara, tidak diwajibkan untuk menggunakan bendera Hijau-Kuning ataupun yang lainnya yah guys.๐Ÿ˜‰ Kalau mau menggunakan bendera Merah-Putih pun juga tidak masalah.๐Ÿ˜€๐Ÿ˜„

penulis: Ivan Genta Surya Eksa

referensi:
https://jateng.tribunnews.com/amp/2017/11/09/mengapa-bukan-bendera-merah-putih-tetapi-biru-putih-yang-dipakai-latihan-paskibraka-ini-jawabannya?page=all (terakhir diakses pada 18 Agustus 2021 pukul 00:36 WIB)

https://brainly.co.id/tugas/190374 (terakhir diakses pada 18 Agustus 2021 pukul 00:41 WIB)

Senin, 15 Februari 2021

Mengenal Bahasa Cia-cia, bahasa daerah di Sulawesi yang menggunakan aksara Hangeul atau Korea | Informer.Id

Halo, I-Friends.

Selamat datang di blog Informer Indonesia!!

Hari ini, mimin mau bagiin info nih, tentang Bahasa Daerah di Indonesia yang menggunakan Aksara Hangeul. Aksara Hangeul itu apa ya? Aksara Hangeul merupakan aksara yang digunakan untuk menuliskan bahasa Korea nih, I-Friends. Tapi ada juga lho bahasa Daerah di Indonesia yang menggunakan aksara ini, yakni bahasa Cia-cia atau ๋ฐ”ํ•˜์‚ฌ ์ฐŒ์•„ ์ฐŒ์•„. Berikut penjelasan lebih umumnya yah, I-Friends.

Selamat Membaca!


Bahasa Cia-Cia atau Bahasa Buton Selatan, ialah sejenis bahasa Austronesia yang ditutur di sekitar Kota Baubau di selatan Pulau Buton yang terletak di tenggara Pulau Sulawesi di Indonesia.

Pada tahun 2009, bahasa Cia-Cia menarik perhatian dunia karena Kota Bau-Bau memutuskan agar tulisan Hangul dari Korea digunakan untuk menulis bahasa Cia-Cia, dan mengajar anak-anaknya sistem tulisan baru ini berpandukan buku teks yang dihasilkan oleh Persatuan Hunminjeongeum. Institut tersebut telah bertahun-tahun bertungkus-lumus menyebarkan penggunaan abjad Korea ke kaum-kaum minoritas yang tiada sistem tulisan sendiri di Asia.


Awal mula Suku Cia-Cia mengenal aksara dari “Negeri Ginseng” itu terjadi sekitar awal tahun 2000-an. Ketika itu, Wali Kota Baubau yang dijabat oleh MZ. Amirul Tamin tergerak hatinya ketika mendengar pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang menyebut beberapa bahasa daerah di Indonesia terancam punah.

Salah satu penyebabnya, penutur bahasa-bahasa daerah minoritas ini tidak memiliki sistem penulisan yang bisa mengabadikan pelafalan bahasa mereka sendiri. Sehingga, pengaruh bahasa mayoritas bisa menggerus pemakaian bahasa kaum minoritas itu. Amirul pun teringat kepada suku Cia-Cia, penutur bahasa Buton Selatan, sejenis bahasa tutur Austronesia, namun tak memiliki sistem aksara sendiri. “Di situ saya berpikir kalau bahasa Cia-Cia ini murni bahasa lisan. Dokumennya tidak ada, dan ini bisa punah,” ujarnya.

Dari fakta inilah, kemudian Pemerintah Kota Baubau berupaya mencari aksara yang cocok dengan bahasa Cia-Cia agar bisa didokumentasikan. Awalnya dipertimbangkan untuk menggunakan aksara Arab seperti halnya bahasa Wolio, bahasa mayoritas di Buton. Namun, bunyi konsonan bahasa Cia-Cia tidak semuanya bisa ditulis dengan huruf Arab.

Pada 2005, bekerja sama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), pemerintah kota kemudian menggelar “Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara” di Baubau. “Salah satu yang hadir itu seorang guru besar asal Korea, Prof. Chun Thay Hyun. Ia tertarik dengan paparan tentang keragaman bahasa dan adat istiadat di wilayah bekas Kesultanan Buton ini,” Amirul bercerita.

Prof. Chun Thae Hyun lalu menyempatkan waktu untuk melakukan penelitian di Cia-Cia karena wilayah ini belum memiliki alfabet sendiri, serta adanya kesamaan pelafalan dan struktur bahasa dengan Korea. Tiga tahun kemudian, sebuah organisasi kemasyarakatan dari Korea Hunminjeongeum Research Institute datang ke Buton atas saran Prof. Chun Thay Hyun. Institut ini telah bertahun-tahun ber-tungkus-lumus menyebarkan penggunaan abjad Korea ke kaum-kaum minoritas yang tak memiliki sistem tulisan sendiri di seluruh Asia.

Pemerintah Kota Baubau kemudian bekerja sama dengan Hunminjeongeum Research Institute untuk menyusun bahan ajar kurikulum muatan lokal mengenai bahasa Cia-Cia dengan huruf Korea. Huruf ini mulai dipelajari dari tingkat SD hingga SMA. Sejak saat itulah nama Cia-Cia populer di Korea, Jepang, bahkan sampai ke Inggris dan Amerika.
Amirul memaparkan, berkat aksara Hangeul itu, kini telah dibuat naskah bahasa Cia-Cia dalam tiga terjemahan, yakni Indonesia, Inggris, dan Korea. Setelah semua usaha ini tercapai, Amirul yakin bahwa dengan adanya sistem penulisan ini, bahasa Cia-Cia akan tetap lestari.

Namun, yang lebih menggembirakan, setelah menguasai huruf-huruf Korea itu, beberapa siswa, guru, masyarakat Cia-Cia, serta Pemerintah Kota Baubau pernah diundang langsung ke Korea. Mereka mendemonstrasikan kemampuan menuliskan huruf Hangeul untuk bahasa Cia-Cia. “Bahkan, kemudian beberapa guru dari Korea didatangkan langsung ke Baubau untuk mengajarkan huruf Haenggul,” Amirul memaparkan.

Hangeul di sisi lain juga seperti berkah bagi suku Cia-Cia. Seorang peneliti, Syahrir Ramadhan, yang pernah meneliti soal relasi budaya dan bahasa Korea dengan Cia-Cia, menemukan fakta bahwa suku Cia-Cia, khususnya di Karya Baru, awalnya dianggap minoritas dan terisolasi di Buton. Sejak dulu mereka dianggap sebagai suku terbelakang, tidak berpendidikan, dan tidak layak mendapatkan “panggung” di lingkungan lebih luas di Buton. “Mereka minoritas yang terpinggirkan,” kata Syahrir.

Dari hasil penelitiannya, kata Syahrir, orang Cia-Cia yang ada di Karya Baru sebenarnya dulu berasal dari Kecamatan Sampolawa di Buton Selatan. Migrasi orang Cia-Cia ke Karya Baru ternyata dilakukan secara paksa oleh tentara. Peristiwa tersebut menjadi ingatan kelam orang Cia-Cia yang merasakan bagaimana kekerasan yang dilakukan oleh militer saat itu. Migrasi tersebut terjadi pada 1969, untuk membangun perkampungan baru yang disebut Resettlement 11 Karya Baru. “Maka wajar, mereka itu dianggap sebagai warga pendatang dan dikucilkan saat itu,” katanya.

Namun, perasaan minder dan terkucilkan itu mulai pudar ketika mereka mengenal huruf Korea. Abidin mengakui, anak-anak Cia-Cia sangat cepat menguasai huruf-huruf Hangeul. Selain itu, hanya aksara Korea yang paling cocok dipakai untuk menulis naskah Cia-Cia dibandingkan dengan aksara Arab atau Latin. Sebab, entakan ketika berbicara bahasa Cia-Cia hampir mirip dengan bahasa tutur Korea. Dan lebih mudah dipelajari. “Siswa di sini pernah juga belajar aksara Wolio yang pakai huruf Arab, tapi itu dianggap terlalu sulit, berbeda dengan aksara Haenggul,” ujarnya.

Kini, pelajaran menulis bahasa Cia-Cia menggunakan aksara Haenggul ini, kata Abidin, dimasukkan ke mata pelajaran muatan lokal. Dan hanya ada sekolah-sekolah di wilayah tempat bermukimnya orang Cia-Cia, yakni di Kecamatan Sorawolio, Kota Baubau, yang memberikan pelajaran ini.

Abidin sendiri sudah membuat dua buku pelajaran bahasa Cia-Cia yang ditulis menggunakan aksara Hangeul. Ia mengatakan, ada kebanggaan tersendiri buat warga Cia-Cia dengan masuknya kerja sama dengan Korea dalam bentuk penggunaan aksara Haenggul ini. Selain kini mereka dapat menuangkan bahasa mereka dalam bentuk lisan, Cia-Cia juga kini dikenal oleh dunia luar. “Tentu kami bangga,” katanya.

Nama bahasa ini berasal dari perkataan cia yang berarti tidak. Cia-Cia juga disebut bahasa Buton, Butung, atau Boetoneezen (dari bahasa Belanda), bersama dengan bahasa Wolio, dan bahasa Buton (atau Butung) Selatan.

Pada tahun 2005, ada 80.000 orang penutur bahasa Cia-Cia, 95% di antaranya beragama Islam yang juga berbicara dalam bahasa Wolio. Bahasa Wolio semakin dilupakan sebagai bahasa penulisan kaum Cia-Cia, karena bahasa Indonesia kini diajar dengan abjad Latin di sekolah.

Keadaan bahasa di pulau Buton rumit sekali dan kurang dipahami secara teliti. Antara logat-logat Cia-Cia termasuk Kaesabu, Sampolawa (Mambulu-Laporo), Wabula dan Masiri. Logat Masiri paling banyak kosakatanya dibanding logat baku.

Bahasa Cia-Cia ditutur di Sulawesi Tenggara, Pulau Buton bagian selatan, Pulau Binongko, dan Pulau Batu Atas. Menurut kisah lama, penutur bahasa Cia-Cia di Binongko berketurunan bala tentara Buton yang dipimpin oleh Sultan Buton.

Bahasa Cia-Cia dituturkan oleh masyarakat di (1) Desa Lapandewa, Kecamatan Kulisusu Barat, Kabupaten Buton Utara; (2) Desa Kancinaa, Kecamatan Pasarwajo, Kabupaten Buton; (3) Kelurahan Masiri, Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton Selatan; (4) Kelurahan Gonda Baru, Kecamatan Sarowolio, Kabupaten Kota Bau-Bau; (5) Desa Kumbewaha, Kecamatan Siotapina, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Selain bahasa Cia-Cia, di daerah sebaran tersebut terdapat bahasa Muna (di Kabupaten Buton); bahasa Lasalimu-Kamaru (di Kabupaten Buton); dan bahasa Sasak (di Kabupaten Buton).

Bahasa Cia-Cia terdiri atas lima dialek, yaitu (1) dialek Lapandewa, (2) dialek Kancinaa, (3) dialek Masiri, (4) dialek Gonda Baru, dan (5) dialek Kumbewaha. Berdasarkan penghitungan dialektometri, persentase perbedaan antardialek tersebut berkisar antara 60%—78%.

Semoga bermanfaat!

Mengapa pada saat latihan upacara menggunakan bendera hijau kuning?

Informer Indonesia – Mungkin kamu pernah berpikir, bahwa mengapa pada saat latihan upacara kemerdekaan tidak menggunakan bender...